Indah Patmawati

Indah Patmawati, Widyaiswara di P4TK PKn dan IPS. Lahir di Madiun, sebuah kota yang penuh sejarah dan terkenal dengan nasi pecelnya. Alamat di Jalan Parianom B4...

Selengkapnya
Navigasi Web
TRUNTUM GARUDA

TRUNTUM GARUDA

Othok-othok...tekeeeeekkkkk

"Aseemmm! Bikin kaget aja," gumam Salinem geram.

Sudah dua minggu ini, Salinem uring-uringan dengan makhluk yang bernama tekek itu.

Sejujurnya dia sangat takut, apalagi melihat matanya yang bulat dan melotot. Imajinasinya melayang ke zaman purba. Menurutnya, tekek itu hasil evolusi makhluk yang bentuknya sangat menyeramkan.

Suara tekek seolah membawanya pada sebuah zaman yang serba gelap dan sunyi. Menyeramkan. Salinem bergidik. Hiii ngeri!

"Jangan sampai masuk dan bersuara di rumah lo," kata Murtini pagi tadi.

"Kenapa?" tanya Salinem penasaran.

"Katanya sih, kalau udah masuk rumah, tandanya ada hantu yang mengikuti. Katanya lagi, bisa menjelma menjadi demit lho," bisik Murtini dengan wajah ketakutan.

"Husss. Jangan sembarangan ngomongin hantu atau demit!" gertak Salinem kesal. "Zaman sekarang nggak ada hantu!" lanjutnya.

--------

Sehari ini, Salinem kembali sibuk berburu tekek, yang ada di belakang almari di kamarnya.

Dengan menguatkan hati Salinem menggeser almarinya, dia mulai mengintip.

"Tidak ada," gumamnya.

Kemudian mengambil kursi, lalu naik dan memeriksa mungkin ada di atas almari.

"Tidak ada juga,"

"Cari apa diajeng?" sebuah suara tiba-tiba mengagetkan Salinem.

"Eiitt...Kadal..., tobil...," spontan Salinem latah.

"Siapa kau?" tanya Salinem terkejut.

Bagaimana mungkin tahu-tahu ada laki-laki sudah berdiri di belakangnya. Perasaan tadi rumahnya ditutup, kok dia bisa masuk begitu saja. Heran dan bingung bercampur aduk.

Laki-laki itu tersenyum, sorot matanya teduh. Membuat dada Salinem terasa adem. Namun demikian otaknya berpikir keras, mengingat-ingat siapa gerangan laki-laki yang memakai kain truntum garuda dengan beskap lurik dan blankon senada dengan kainnya.

"Kamu lupa ya Diajeng? Aku ini Kang Masmu."

Alamaaakkk suaranya lembut banget, membuat telinga Salinem merekah. Mak cleeesss.

"Kang mas, siapa?"

Salinem masih penasaran.

Laki-laki itu mendekati Salinem dan membimbingnya turun dari kursi. Sentuhan lembut laki-laki itu memaksa Salinem untuk menurut. Mereka kemudian keluar kamar.

"Kita berbincang di luar, ya," ajak laki-laki itu dengan santun.

"Ke mana?"

Lidah Salinem seolah kelu. Tiba-tiba seperti ada sepasukan drumband yang melewati dadanya. Begitu riuh dan bising. Dag dag Dig Dig dug dug jreng jreng...sangat tidak beraturan.

"Panggil aku kang mas, gitu aja ya jeng," kata laki-laki itu.

"Mungkin kau lupa, bahwa sebenarnya kita pernah bertemu lima tahun yang lalu di acara bersih desa di kampung kita ini. Saat itu kau memakai baju berwarna hijau lumut dengan renda senada di bagian leher dan lengan. Kau sempat menolongku, saat aku terjatuh. Lalu kau pergi bersama teman-temanmu. Sejak saat itu, aku mencarimu ke mana-mana. Aku belum mengucapkan terima kasih padamu lho," laki-laki itu melanjutkan kalimatnya.

Salinem seperti terbuai, dia mencoba mengingat kapan dan di mana pernah bertemu laki-laki itu. Tapi tetap tak bisa. Memorinya seolah telah mati.

"Sudah, jangan banyak berpikir. Aku bahagia sekali jeng, akhirnya bisa menemukanmu lagi."

Laki-laki itu menggenggam tangan Salinem dengan lembut.

Salinem jengah, dia berusaha melepaskan tangannya tanpa harus menyinggung perasaan laki-laki itu. Hatinya masih bimbang.

"Trus, apa tujuan kang mas datang ke sini?" tanya Salinem setelah dia bisa menguasai perasaannya.

Laki-laki itu tersenyum teduh. Wajahnya yang bersih dengan sinar mata yang bening membuat Salinem terpesona. Tampaknya laki-laki ini dari kalangan bangsawan.

"Aku ingin melamarmu, Diajeng," kata Laki-laki itu. "Bukankah sekarang kau sudah menjadi janda?"

Salinem tertunduk, pandangannya jatuh pada selop yang dikenakan laki-laki itu. Hitam dan mengkilap. Seperti pikirannya masih terasa hitam dan gelap tentang laki-laki ini. Tak dapat dipungkiri, bahwa ia memang ingin mencari suami. Meskipun beberapa kali usahanya kandas, tapi Salinem tetap berharap suatu saat akan menemukan jodohnya kembali. Sekarang tiba-tiba ada seseorang yang mau melamar, bukankah ini seperti pucuk dicinta ulampun tiba. Tunggu apa lagi?

Salinem menghela napas. Bimbang.

"Kenapa bimbang Diajeng? Jangan khawatir aku akan membuat hidupmu bahagia, kau tidak akan sengsara, soal harta benda jangan kau sangsikan."

Laki-laki itu merogoh saku beskapnya, kemudian mengeluarkan cincin bermata berlian berwarna abu kehitaman.

"Ini sebagai tanda kesungguhanku, Jeng."

Mata Salinem terbelalak. Bagaimana mungkin laki-laki itu tahu keinginannya yang terpendam selama ini. Cincin berlian berwarna kehitaman?

Inikah jodohku? Laki-laki yang datang tiba-tiba, kemudian melamar dan menawarkan kehidupan bahagia sebagai istri bangsawan. Ada pertentangan batin yang sangat hebat di hati Salinem.

"Aku akan membuatmu, bahagia sebagai ratuku Diajeng."

Laki-laki itu memeluk Salinem, menyediakan bahunya untuk Salinem bersandar.

Salinem merasa bahagia sekali. Ia tak dapat berkata-kata. Disandarkan kepalanya pada bahu laki-laki itu, dengan segenap hatinya. Tangannya menggenggam cincin berlian yang diberikan. Salinem menolak dipasangkan di jari manisnya. Belum saatnya.

Salinem hanyut, kerinduannya selama ini seperti terobati. Bahwa ia butuh cinta dan hatinya memang harus berlabuh, di sebuah dermaga. Untuk menikmati hakikat hidup yang sesungguhnya dengan orang yang dicintainya.

Tak terasa tangannya melingkar di pinggang laki-laki itu. Gayung bersambut. Salinem terpejam menikmati kebahagiaannya. Tak terasa air matanya menetes, dia menangis bahagia. Pipinya basah, mukanya basah, lehernya basah, air matanya makin deras. Salinem tak bisa menghentikan, selain makin erat memeluk laki-laki itu. Tiba-tiba Salinem seperti mau tenggelam

"Oeeee....banguuunnn!"

Lamat-lamat Salinem mendengar suara Murtini. Dia geragapan dan terbangun. Basah kuyub bajunya.

"Tuuurruuuunnnnn!" teriak Murtini dari bawah sambil menyiram air segayung air.

"Kau ini kurang kerjaan apa, tidur di atas almari."

Murtini geleng-geleng kepala melihat kelakuan Salinem. Apakah dia sudah tidak waras, tidur bersandar tembok di atas almari.

"Murr... kenapa aku bisa tidur di sini? Bagaimana aku bisa turun?" teriak Salinem panik, bahkan mulai menangis.

"Aku kan takut ketinggian."

Murtini segera mengambil kursi dan membantunya turun.

"Kau ini sudah gila apa, kalau mau sembunyi cari tempat yang nyaman, to. Jangan di atas almari. Kotor tahu, lagian di situ kan ada tekek," gerutu Murtini sambil membimbing Salinem ke dapur, dan menyodorkan segelas air putih.

"Itu tanganmu menggenggam apa?" tanya Murtini heran. Sebab sejak turun dari atas almari tadi tangan Salinem menggenggam terus.

Salinem sendiri juga heran, mengapa tangannya seperti menggenggam sesuatu. Pelan-pelan dia membukanya.

Woooooowwwwww

Keduanya terperanjat...!!!!!!

#edisinggombal

Dedaun, 18.2.20

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Bu indah, enak sekali baca tulisan ibu. Maaf, ini bu Indah editor saya bukan ya ?

19 Feb
Balas

Kayaknya bukan ya...bukunya berjudul apa bu

24 Feb



search

New Post