Indah Patmawati

Indah Patmawati, Widyaiswara di P4TK PKn dan IPS. Lahir di Madiun, sebuah kota yang penuh sejarah dan terkenal dengan nasi pecelnya. Alamat di Jalan Parianom B4...

Selengkapnya
Navigasi Web
MENJAHITKAN NASIB

MENJAHITKAN NASIB

 

Hari ke-6

 

Berkali-kali aku memandangi portofolio yang sudah kubuat, maklum mau kenaikan pangkat jadi bekerja juga harus lebih giat. Pengajuan angka kredit. Sudah waktunya aku naik tingkat. Setelah dengan perenungan yang matang dengan kepala dingin dan hati yang jernih, aku baru menyadari betapa pandai dan detailnya pembuat kebijakan. Dalam pengajuan angka kredit, menghitung setiap poin kegiatan dengan kisaran angka dimulai dari nol.         

Kalau sudah sampai pada angka kredit, banyak sekali waktu yang tersita untuk mengurus ini semua. Kadang aku dihadapkan pada sebuah dilema. Di satu sisi jika aku mengajukan sendiri angka kreditku, aku harus meninggalkan siswaku beberapa saat untuk fokus mengerjakan agar bisa  cepat selesai. Meski nanti terkadang hasilnya tidak menyenangkan ketika diajukan ke dinas. Ditolak berkali-kali karena kurang inilah itulah, harus melengkapi inilah itulah, ya ampunn pusingnya. Saat itu rasanya seperti orang yang patah hati karena diputus sama pacar. Tapi jika aku ingin urusan simpel, cepat selesai, dan tak bikin pusing maka aku bisa ‘jahitkan’ angka kredit ke orang lain meskipun harus menyediakan anggaran untuk semua itu. Pilih yang mana hayo?

Sebenarnya tidak ada yang benar-benar susah di dunia ini, andai kita mau sungguh-sungguh untuk belajar. Semua tergantung pada tekad dan niatnya. Bener nggak? Belajar untuk konsisten pada aturan itu memang tidak mudah, butuh ketelatenan dan rasa percaya diri yang mantap. Terakhir butuh kepiawaian dalam menjalin komunikasi dengan sesama, agar yang biasa terlihat burem-burem menjadi terang dan jelas. Beberapa isu yang santer terdengar, banyak temanku guru yang menjahit di sana. Murah, lancar, dan hasilnya bisa dipertanggungjawabkan. Ah, masak sih? Memang ada yang bisnis begitu?

Menyusun portofolio untuk pengajuan angka kredit, itu kan memang untuk kepentingan individu, lha seharusnya dikerjakan sendiri oleh yang bersangkutan. Sebab yang tahu kronologi dan perjalanan kegiatan kita selama tiga atau empat tahun terakhir itu kan kita sendiri. Lha, kalau diberikan orang lain trus bagaimana? Mari kita bayangkan sejenak!

Tapi jangan bilang-bilang lho, kalau ada guru yang nggak mau ribet dan pusing ngurusi itu, lantas melakukan jalan pintas untuk “menjahitkan” ke orang lain. Sumprit, tutup mulut ya! Salahkah itu? Dosakah itu? Entahlah aku nggak tahu. Sebab dengan berbagai alasan yang klise dan klasik bisa saja terjadi kegiatan jahit menjahit angka kredit, tidak bisa menghitung, takut meninggalkan kelas karena harus bolak-balik konsultasi dan menyiapkan bukti fisik yang seabrek. Memang, tidak semua orang memiliki ketelatenan, ketelitian, dan kesabaran juga ketahanan yang tinggi bila menghadapi berkas-berkas yang super banyak. Apalagi kalau sudah berserakan tentu bikin stres. Kelihatannya sepele, tapi benar-benar menjadi masalah. Dan sesungguhnya inilah yang banyak dihindari oleh guru bila sudah mengerjakan angka kredit. Termasuk aku. Hehehe...

Sebenarnya ada cara untuk menghindari semua itu adalah dengan memberikan sosialisasi dan meningkatkan literasi. Nah, itu penting sekali. Tahu nggak, selama hampir lima belas tahun menjadi guru seingatku belum pernah ada sosialisasi tentang bagaimana cara menghitung angka kredit, terus menghitungnya pakai dasar hukum yang mana. Sosialisasi ini bertujuan agar guru mampu menghitung sendiri angka kreditnya. Kalau guru tahu dan paham, maka tidak akan terjadi proses jahit menjahit.

Bagi guru, meningkatkan kemampuan literasi itu adalah hal yang mutlak yang harus  dilakukan. Sekarang semua informasi dapat diakses dengan cara yang mudah dan cepat, jadi bukan masalah sulit. Hampir semua guru punya androit, hampir semua sekolah memiliki akses internet. Bagaimana menghitung angka kredit tinggal tanya mbah gugel, sret..sret... muncul informasi dengan lengkap dan komplit. Mudah bukan?

Kalau informasi itu sampai ke guru maka guru akan memahami untuk kemudian bisa menerapkannya. Masalahnya hal itu belum pernah diberikan pada guru, utamanya poin pertama. Sebenarnya siapa sih yang wajib memberikan sosialisasi? Kepala sekolah atau pengawas? Atau dinas sebagai lembaga yang mewadahi kepentingan guru? Entahlah, coba nanti kutanyakan mbah gugel.

Semua memang tergantung dari hati dan niat kita. Juga budaya yang sudah mengakar di lingkungan sekitar kita. Sanggupkah kita mendobrak budaya malas dalam diri kita? Sanggupkan kita mendobrak budaya bergantung pada orang lain? Semua memang harus berawal dari kita. Butuh proses yang panjang.

Ah, kenaikan tingkat, penyusunan angka kredit, selalu menyisakan kisah sendu bagi diriku. Disadari atau tidak hal itu pernah dirasakan oleh semua guru. Upps... atau hanya aku saja. Oh, angka kredit berjuta rasanya, seperti orang yang sedang jatuh cinta. Deg deg plas...lalu ambyar begitu terima PAK dan sebentar kemudian SK kenaikan tingkat turun. Terbayar sudah semua kerja keras, usaha cerdas.

 

#TantanganGurusiana

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post